Oleh: Fahri Rahman, S.AP
Sebuah kapal berlayar dengan arah dan tujuan yang jelas. Namun, tiba-tiba pandangan nahkoda menjadi terbatas, tertutup kabut tebal. Badai datang tanpa ampun, angin berderu dari segala penjuru, layar robek, lusuh, dan tak lagi mampu terkembang. Kapal itu diterjang gelombang besar dan arus yang begitu kuat.
Di langit, warna berubah dramatis: kuning, biru keunguan, hingga muncul garis hijau dan putih. Pertanda apakah ini? Apakah nyanyian alam sedang menegur kelalaian manusia? Ataukah alam tak lagi bersahabat? Tidak. Ini justru pertanda awal dari perjalanan panjang.
Dalam sunyi, tampak kapal itu tetap tangguh dan kokoh. Ia menerjang derasnya arus, menghadap gelombang besar, dan perlahan semakin jelas arah yang dituju: dermaga yang pasti, meski berlawanan dengan arus dan badai yang menghadang.
Namun di sisi lain, ada kapal lain yang kehilangan arah. Pandangannya terhalang kabut tebal, dermaga tak terlihat, kompas berputar tanpa henti. Kapal itu terapung tanpa kepastian, terombang-ambing di tengah badai, entah sampai kapan, tanpa tahu tujuan.
Di tengah kegelisahan itu, terdengar hembusan angin berbisik pada rembulan. Suara itu bergema:
“Wahai kapal pejuang, jangan berhenti di tengah badai. Laluilah badai itu. Di depan, ada cahaya yang cerah dan tenang menanti. Setelah melewatinya, berhentilah sejenak, lalu lihatlah kembali ke arah badai yang telah kau tinggalkan. Bayangkan betapa hancurnya keadaan jika kau menyerah di tengah jalan. Ingatlah, ini bukan akhir segalanya. Justru di sinilah awal perjuangan sesungguhnya. Yakinlah, di depan telah menanti kesuksesan dan kemenangan sejati, sebab cahaya itu ada di ujung badai.”
Narasi ini bukan sekadar kisah imajiner tentang kapal dan badai, melainkan refleksi tentang kehidupan, kepemimpinan, dan perjuangan kolektif. Dalam perjalanan membangun masyarakat, selalu ada masa tenang, ada pula masa penuh gejolak. Pemimpin, tim, dan rakyat ibarat satu kapal besar: mereka dituntut untuk tidak berhenti di tengah jalan hanya karena badai menghadang.
Badai adalah ujian. Ia bisa berupa krisis ekonomi, konflik sosial, bencana alam, atau bahkan ketidakpastian arah kebijakan. Namun, sebagaimana kapal yang tetap teguh mengandalkan kompas dan keberanian nahkodanya, demikian pula kita harus berani melanjutkan perjalanan. Karena jika berhenti di tengah badai, yang ada hanyalah kehancuran.
Kemenangan sejati bukanlah sampai di dermaga tanpa goresan, melainkan mampu keluar dari badai dengan luka, pengalaman, dan keteguhan yang membuat kapal itu lebih kuat dari sebelumnya.