Jalan yang Tak Pernah Dianggap Ada
Refleksi dari Ujung Selatan Kabupaten Sumbawa – NTB
Di dalam peta resmi pemerintah, garis-garis jalan tampak lurus, rapi, dan penuh janji. Dari Lombok menuju Sumbawa, dari kota ke desa, dari pesisir hingga ke pegunungan. Dalam peta itu, garis-garis seolah menyatukan dunia, menyambungkan hidup, dan menjamin tak ada satu pun warga yang tertinggal dari arus pembangunan.
Namun di pedalaman, realitas berbeda sama sekali. Ada jalan yang tak pernah benar-benar dianggap sebagai “jalan”. Ia hanya menyerupai bekas aliran air, jalur ternak, atau garis panjang yang lebih sering dirawat oleh kaki masyarakat daripada oleh tangan negara. Di peta, ia mungkin hanya sebuah garis tipis. Di lapangan, ia adalah denyut hidup yang selalu terabaikan.
Aku tumbuh di salah satu jalan itu—jalan yang tak punya nama, tak pernah dipetakan dengan benar, apalagi disentuh pembangunan secara serius. Setiap musim hujan, tanah liatnya berubah menjadi perangkap lumpur yang menelan roda motor. Setiap musim kemarau, debunya membubung seperti kabut yang memedihkan mata. Di antara itu semua, jalan itu memberi pelajaran tentang ketabahan, kesenjangan, dan betapa jauhnya pembangunan dari cita-cita keadilan.
1. Jalan yang Lebih Tua dari Janji-Janji Politik
Sejak kecil, aku sudah akrab dengan satu kalimat yang terus diulang orang-orang tua:
“Jalan ini sudah dijanjikan sejak sebelum kamu lahir.”
Saat aku SD, pernah terdengar kabar besar: jalan Sebeok–Orong Telu akan diaspal. Disebutkan akan “dipercepat”, seolah akan hadir esok pagi. Tahun berganti, pejabat berganti, anggaran berubah, spanduk politik tumbuh dan hilang… tetapi jalan itu tetap sama.
Jalan itu seperti memiliki cara memperbaiki dirinya sendiri—ditimbun oleh masyarakat saat longsor, dipadatkan oleh ternak yang melintas, dirawat oleh gotong royong lebih sering daripada oleh APBD.
Yang ironis, setiap kali musim pemilu tiba, jalan itu tiba-tiba menjadi “destinasi wisata pejabat”. Mobil double cabin datang, rombongan turun, foto diabadikan, dan janji disampaikan:
“InsyaAllah diaspal tahun depan.”
Namun tahun itu tak pernah datang. Tidak pernah.
2. Jalan yang Menyimpan Jeritan Sunyi
Aku masih mengingat satu sore yang sulit terlupakan. Seorang ibu muda berlari sambil menggendong anaknya. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, napasnya terengah-engah. Anaknya demam tinggi. Motor yang mereka tumpangi tergelincir di kubangan lumpur.
Dengan suara pecah ia berkata:
“Kalau saja jalan ini bagus… kalau saja…”
Kata kalau saja itu menusuk batinku. Betapa banyak hidup di pedalaman yang bergantung pada kondisi jalan—sesuatu yang terlihat sederhana, tetapi menentukan nyawa.
Bukan satu-dua kejadian seperti itu.
Ada warga yang tak bisa ditangani cepat karena ambulans tak mampu menembus lumpur.
Ada panen petani yang rusak sebelum sampai pasar.
Ada guru honorer yang berhenti mengajar karena tanjakan tanah lebih berbahaya daripada gajinya yang kecil.
Jalan itu menyimpan lebih banyak jeritan sunyi daripada lalu lintas.
3. Ketika Jalan Menjadi Simbol Ketidakadilan
Di pusat kota, pembangunan berjalan seperti festival tanpa akhir. Aspal dibongkar, diganti baru, dibongkar lagi. Drainase dibenahi, lampu jalan dipasang rapat, trotoar dipercantik. Kota seperti tak pernah tidur.
Di pedalaman?
Satu titik longsor saja bisa mengisolasi desa berminggu-minggu.
Tak ada lampu jalan.
Tak ada rambu.
Tak ada papan proyek.
Tak ada bukti perawatan rutin.
Kita berada dalam satu kabupaten, satu provinsi, satu negara, tetapi akses kita terhadap pembangunan berbeda sangat jauh. Jalan menjadi simbol paling telanjang dari ketimpangan itu.
4. Jalan yang Membentuk Cara Pandangku
Setiap kali melintasi jalan pedalaman, aku merasa seperti memasuki ruang kuliah terbesar yang pernah kualami. Jalan itu mengajariku tiga pelajaran penting:
(a) Ketimpangan itu nyata
Ia bukan teori, bukan angka, bukan grafik di laporan pemerintah.
Ia hidup di setiap kubangan dan setiap batu.
(b) Masyarakat pedalaman bekerja dua kali lebih keras
Untuk sekolah, untuk berobat, untuk berdagang, bahkan untuk sekadar bermimpi.
(c) Pembangunan tidak boleh hanya mengikuti jumlah penduduk
Karena negara bukan hanya soal statistik; ia soal manusia. Dan manusia di pedalaman punya hak yang sama untuk diperhatikan.
Dari jalan itu, kesadaranku dibentuk. Politik bukan sekadar arena perebutan kuasa; ia adalah kewajiban moral untuk menghadirkan keadilan yang tak pernah benar-benar hadir bagi mereka yang hidup di ujung peta.
5. Jalan yang Tak Pernah Dianggap Ada, Tapi Selalu Ada dalam Ingatan
Walau hanya puluhan kilometer, jalan itu seperti perjalanan hidup.
Tanjakan curam mengajarkan kegigihan.
Turunan licin mengajarkan kewaspadaan.
Tikungan tajam mengajarkan keberanian.
Batu besar mengingatkan bahwa hidup tak akan pernah mulus.
Jalan itu mungkin tidak beraspal.
Mungkin tidak masuk prioritas.
Mungkin tidak dianggap penting.
Namun bagiku, jalan itu adalah saksi sejarah masa kecil, remaja, dan perjuanganku. Ia menanamkan tekad: bahwa pembangunan harus hadir di mana pun manusia hidup, bukan hanya di pusat keramaian.
Penutup
Ini bukan sekadar keluhan tentang infrastruktur yang tertinggal.
Ini adalah refleksi tentang ketidakadilan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Jalan-jalan di pedalaman bukan sekadar proyek yang belum selesai;
ia adalah perjuangan yang sedang berlangsung,
suara yang terus menunggu untuk didengar,
dan seruan moral bahwa negara harus hadir sampai titik terakhir.
Jalan menuju Kecamatan Orong Telu—di ujung selatan Kabupaten Sumbawa, NTB—bukan hanya urat nadi transportasi, tetapi cermin yang memantulkan wajah asli pembangunan: apakah ia memihak semua, atau hanya yang terlihat dari jendela kota.
CEO:NEX Media
Mulyadi,S.Pd.,C.IJ.,C.PW.,C.PS.,C.HL