Sindrom Amnesia Politik: Kursi yang Membuat Lupa Daratan
Mengira kemenangan sebagai karya tunggal adalah jalan tercepat menuju kejatuhan.
Bagi sebagian politisi, kursi kekuasaan kerap dipandang sebagai mahkota pribadi—simbol puncak karier yang dianggap lahir dari kehebatan diri semata. Padahal, setiap langkah menuju kursi itu tak pernah ditempuh sendirian. Ada relawan yang mengorbankan waktu bersama keluarga, tim yang bekerja sunyi di balik layar, masyarakat yang memberikan suara meski diselimuti keraguan, hingga mereka yang mempertaruhkan reputasi demi memastikan sang calon melangkah ke podium kemenangan.
Namun, kursi itu sering kali membawa efek yang tak kasatmata. Begitu sandaran punggung terasa nyaman, memori kolektif yang dahulu dijaga mulai memudar. Telinga lebih akrab dengan bisikan yang memanjakan ego, pandangan hanya tertuju pada wajah yang setuju tanpa keberanian berbeda pendapat.
Janji kampanye yang dulu tegas kini menjadi sekadar hiasan di dinding ruang kerja—pengingat yang tak lagi dihiraukan. Kepentingan publik perlahan bergeser dari pusat panggung, digantikan oleh agenda yang diracik untuk memperkuat lingkar kekuasaan.
Inilah yang disebut Sindrom Amnesia Politik—penyakit lama yang selalu menemukan pasien baru. Penderitanya kerap lupa bahwa kemenangan adalah buah kerja kolektif, bukan monumen pribadi. Mereka mungkin memegang kendali, tetapi naskah ceritanya ditulis oleh banyak tangan.
Yang sering terlewat, penyakit ini hanya menyerang mereka yang berkuasa. Rakyat justru memiliki ingatan panjang—lebih panjang dari masa jabatan. Arsip janji tersimpan, catatan pengingkaran terjaga, dan penagihan akan datang pada waktunya. Dalam politik, penagihan tidak butuh perdebatan panjang; cukup satu bilik suara untuk menutup lembar kekuasaan.
Kursi itu bukan takhta abadi. Ia hanya titipan dengan kontrak yang bisa berakhir sewaktu-waktu. Mengabaikan mereka yang berjasa mengantarkan ke kursi itu sama saja dengan melemahkan penopang sendiri. Dan kursi yang kehilangan pijakan tak pernah runtuh tanpa suara—ia tumbang dengan dentum yang kadang lebih nyaring daripada tepuk tangan saat pertama kali diduduki.
Bagi siapa pun yang hari ini merasa aman di puncak, ingatlah: kotak suara bisa menjadi meja evaluasi paling jujur. Sebab rakyat punya memori, dan sejarah tak pernah melupakan mereka yang tersesat dalam euforia kekuasaan.
CEO:NEX MEDIA
Mulyadi,S.Pd.,C.IJ.,C.PW.,C.PS.,C.HL