Politik: Berlumpur Itu Realitas, Berkubang Itu Pengkhianatan
Dalam panggung politik, lumpur adalah keniscayaan. Ia hadir dalam bentuk kompromi, tawar-menawar, hingga intrik kepentingan yang kerap mewarnai setiap langkah. Tidak ada aktor politik yang benar-benar steril dari percikan itu. Namun, di situlah letak seni sekaligus ujian: bagaimana melangkah dalam lumpur tanpa kehilangan arah dan integritas.
Berlumpur adalah konsekuensi. Seorang politisi bisa saja harus menegosiasikan gagasan, berdialog dengan lawan, atau menyesuaikan strategi. Kakinya mungkin kotor, tetapi ia tetap berdiri, menjaga keseimbangan, dan terus berjalan. Lumpur menjadi cermin bahwa realitas politik memang tidak sesuci teori, tetapi tetap bisa dilalui dengan kepala tegak.
Namun, berkubang adalah pengkhianatan. Itu bukan lagi soal konsekuensi, melainkan pilihan sadar untuk larut dalam kebusukan. Mereka yang berkubang menjadikan kotoran sebagai habitat, membiarkan nurani tumpul, dan menjadikan politik sekadar ruang transaksi demi kenikmatan pribadi. Pada titik ini, politik kehilangan makna perjuangan, berubah menjadi sekadar panggung dagang.
Inilah garis tipis yang membedakan seorang politisi dengan seorang negarawan. Politisi seringkali berhenti di kepentingan jangka pendek, sementara negarawan melihat lebih jauh: masa depan bangsa dan harga diri sejarah. Ia tahu lumpur bisa dibersihkan, tetapi jika ia memilih berkubang, maka nama dan martabatnya akan terkubur bersamanya.
Sejarah politik penuh dengan jejak yang menegaskan hal ini. Mereka yang terjebak dalam kubangan hanya meninggalkan noda, sementara mereka yang berani melangkah meski kaki kotor dikenang sebagai penunjuk jalan. Karena pada akhirnya, politik bukan tentang menghindari lumpur, melainkan keberanian untuk melewatinya tanpa menjual nurani.
CEO:NEX Media
Mulyadi,S.Pd.,C.IJ.,C.PW.,C.PS.,C.HL