Tidak Ada Orang di Atas Tanpa Sokongan dari Bawah
Esai Reflektif
Oleh: Mulyadi, S.Pd., C.IJ., C.PW., C.PS., C.HL
Dalam perjalanan sejarah manusia, kita selalu menemukan figur-figur yang berdiri di puncak: raja, pemimpin, tokoh besar, bahkan ide-ide yang memimpin zaman. Mereka tampak menjulang, seakan keberadaan mereka adalah sebuah keniscayaan. Namun, bila direnungkan lebih dalam, kita akan menemukan sebuah hukum sosial yang tak terbantahkan: tidak ada orang di atas tanpa sokongan dari bawah.
Bayangkan sebuah rumah. Atap yang indah dan megah mungkin menjadi pusat perhatian, tetapi ia tidak pernah berdiri sendiri. Keberadaannya bergantung pada dinding dan tiang yang menopang, bahkan lebih dalam lagi pada fondasi yang kokoh. Begitu pula dengan bangunan sosial. Seorang pemimpin tidak akan berdiri tegak tanpa rakyat. Seorang tokoh tidak akan dihormati tanpa pengakuan komunitas. Bahkan gagasan besar pun akan hilang jika tidak menemukan pengikut yang percaya dan menghidupkannya.
Refleksi ini memberi kita pelajaran berharga: ketinggian yang tampak bukanlah capaian individu semata. Ada kerja kolektif, ada pengorbanan banyak orang, ada tangan-tangan yang menopang dari bawah. Jika semua itu diabaikan, maka ketinggian hanya tinggal ilusi.
Namun, sejarah juga mengajarkan betapa seringnya manusia lupa pada kenyataan sederhana ini. Mereka yang berada di atas kerap silau oleh posisi dan pengaruh, lalu mengira bahwa kekuasaan adalah hasil mutlak dari kecerdasan, keberanian, atau strategi pribadi. Padahal, tanpa legitimasi dari bawah, kekuasaan hanyalah menara pasir yang sewaktu-waktu bisa runtuh.
Fondasi sosial tidak pernah bisa diperlakukan sekadar pelengkap. Ia adalah inti dari keberlangsungan. Mengabaikan rakyat, menutup telinga dari suara kecil, atau meremehkan orang-orang biasa sama saja dengan melemahkan tiang penopang. Dan ketika penopang itu retak, bangunan megah tak lagi memiliki arti.
Esai ini bukanlah kritik kepada individu tertentu, melainkan sebuah pengingat universal bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ketinggian dan kejayaan seseorang selalu terkait dengan orang lain. Kesetiaan, dukungan, dan pengakuan adalah energi yang membuat seseorang bertahan di puncak. Sebaliknya, kehilangan sokongan berarti kehilangan pijakan.
Karena itu, menghargai yang berada di bawah bukan hanya kewajiban moral, melainkan juga kebutuhan eksistensial. Ia adalah syarat untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan. Setinggi apa pun sebuah atap, ia akan selalu bergantung pada fondasi.
Pada akhirnya, kita bisa berkata dengan jernih: orang-orang di atas bukanlah dewa yang berdiri sendiri. Mereka hanyalah bagian dari bangunan besar yang bernama masyarakat. Dan dalam bangunan itu, fondasi selalu lebih menentukan daripada sekadar atap yang indah.