Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Filosofi Anak Tangga: Jalan Menuju Puncak Menara

Sabtu, 12 Juli 2025 | Juli 12, 2025 WIB Last Updated 2025-07-13T05:32:07Z
Filosofi Anak Tangga: Jalan Menuju Puncak Menara

Oleh:Mulyadi,S.Pd.,C.IJ.,C.PW.,C.PS.,C.HL.
CEO:NEX MEDIA

Dalam dialektika kehidupan, anak tangga adalah metafora tentang proses. Ia tidak hanya hadir sebagai struktur fisik yang menghubungkan bumi dan ketinggian, tetapi menjelma sebagai simbol dari perjuangan bertahap, kesetiaan terhadap waktu, dan kepatuhan terhadap hukum pertumbuhan.

Setiap anak tangga mengajarkan satu pelajaran penting: bahwa ketinggian tak pernah diraih oleh lompatan tergesa, melainkan oleh pijakan sabar dan konsisten. Tiap langkah, betapapun kecil, adalah bagian dari orkestrasi besar menuju puncak: tempat di mana cakrawala terbuka lebih luas, pandangan menjadi lebih utuh, dan kebijaksanaan menumbuhkan akar.

Menara adalah simbol dari visi tertinggi—impian yang menjulang dan nilai-nilai yang agung. Tapi menara tak bermakna tanpa anak tangga yang menyentuh bumi. Sebagaimana cita-cita tak berguna jika tak dibarengi upaya nyata yang menjejak realitas.

Sayangnya, sebagian orang hanya terpukau oleh ketinggian menara, terjebak dalam pesona kemegahan, tapi tak pernah memulai dari langkah pertama. Mereka menanti keajaiban tanpa kesanggupan menapak. Padahal keberanian sejati tidak lahir saat berada di puncak, tetapi justru saat kaki pertama kali menyentuh anak tangga—tempat di mana keraguan, harapan, dan tekad beradu dalam senyap.

Filosofi anak tangga adalah filsafat ketekunan yang hening. Ia tidak gegap-gempita, tidak mengundang sorotan, tapi menyimpan keagungan. Anak tangga menunjukkan bahwa kemajuan sejati bukan hasil dari kecepatan, tetapi dari kesetiaan terhadap proses. Bahkan ketika jatuh, ia tetap membuka peluang untuk bangkit. Karena dalam dunia anak tangga, jatuh bukanlah akhir, melainkan jeda menuju lompatan yang lebih sadar.

Dan kelak, saat seseorang mencapai puncak menara, ia akan mengingat bahwa semua itu dimungkinkan bukan karena keberuntungannya, tetapi karena kesediaannya bersahabat dengan anak tangga—dengan proses, dengan rasa lelah, dengan luka-luka kecil yang tak pernah diumbar.

Seperti tangga rumahmu sendiri, yang tak pernah menghitung berapa kali diinjak, ia tetap setia dan loyal pada setiap pijakanmu. Tak seperti puncak yang gemerlap dan dikerumuni semut karena gula-gula pencitraan, anak tangga adalah tempat kesetiaan diuji dan keaslian dijaga.

Maka, dalam kehidupan yang serba instan ini, belajarlah menjadi penapak tangga yang tekun. Bukan pemburu sorak sorai di atas menara, tetapi perajut perjalanan sunyi menuju kedewasaan. Karena hanya mereka yang mencintai tangga yang layak berdiri di puncak—dengan pandangan luas, hati yang jernih, dan jiwa yang tak mudah silau.
×
Berita Terbaru Update